“Dadi
media massa ki mbok yo sing solutip”
Jurnalisme Solutif
Pertama kali saya
mengetahui istilah jurnalisme solutif ketika membaca tulisan Dadang Rahmat
Hidayat, yang berjudul “Jurnalistik Solutif” dalam
Menurutnya, fungsi dan
peran pers dapat menghasilkan pengaruh positif atau negatif. Pers memegang
amanah dalam bentuk kebebasan pers untuk memenuhi hak publik atas informasi (public right to inform) dan hak publik
untuk mengetahui (public right to know).
Maka kebebasan pers
harus diwujudkan dengan usaha memberikan pengaruh sebaik mungkin bagi
kepentingan publik dan membantu memperbaiki atau menyelesaikan masalah-masalah
yang dihadapi publik.
Jurnalisme solutif
menekankan tugas-tugas yang harus dilakukaan pers dalam menjalankan peranannya.
Pertama, pers bertugas mendefinisikan masalah secara tepat (define problem). Pers harus dapat memilih masalah mana yang lebih
penting untuk diketahui masyarakat dan cara mengemasnya. Pers jangan hanya
menampilkan berita dengan nuansa elitis yang sebenarnya tidak benar-benar
berhubungan dengan kepentingan masyarakat luas.
Kedua, pers bertugas
mengidentifikasi masalah (problem
identification). Kewajiban pers bukan hanya menyampaikan peristiwa yang
terjadi tetapi juga penyebab mengapa peristiwa terjadi. Dengan ini, publik akan
teredukasi mengenai faktor-faktor yang ada di balik suatu peristiwa.
Ketiga, pers bertugas
memberikan penilaian moral (moral
judgement) terhadap berbagai pihak dalam menangani masalah-masalah yang ada. Misalnya dalam kasus Covid-19 ini,
seharusnya pers dapat bersikap bijak dalam memberitakan opini para public figure yang sebenarnya tidak kompeten
dalam membahas Covid-19, bukan malah memberi mereka panggung untuk mendapat
rating. Hal ini dapat menyebabkan salah paham di kalangan masyarakat tentang
isu Covid-19.
Keempat, pers bertugas
untuk menawarkan penyelesaian masalah (treatment
recommendation). Poin inilah yang tidak banyak dilakukan oleh pers di
Indonesia. Banyak pers yang berdalih bahwa pers tidak memiliki kewajiban untuk
memberikan opini terhadap suatu peristiwa. Berita harus menyajikan peristiwa
apa adanya.
Padahal penyampaian
opini dan memberikan kontribusi guna memberikan solusi atas masalah tidak perlu
dilakukan secara langsung. Salah satu caranya adalah dengan memilih narasumber
yang tepat guna menyampaikan solusi atas permasalahan tersebut. –jadi kalo bahas covid-19 ya sama ahli kesehatan
bukan sama pemain band.
Jurnalisme
Selotip
Jika sebelumnya saya
menjelaskan mengenai jurnalisme solutif yang dikemukakan dengan sangat ilmiah
oleh seorang doktor yang pernah menjabat sebagai Komisioner KPI dan sekarang
menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.
Kali ini saya yang
merupakan seorang mahasiswa jurnalistik tingkat dua -yang belum tentu lulus, membuat sebuah istilah lain dalam
mengatasi permasalahan media pers di Indonesia sekarang ini, yaitu jurnalisme selotip.
Tentu saja terdengar tidak serius dan tidak akan seilmilah para akademisi yang
sangat kompeten.
Jurnalisme selotip
adalah upaya untuk menyusun nilai-nilai mulia jurnalisme di Indonesia yang
sekarang sudah berceceran tidak karuan untuk kembali menjadi suatu kesatuan
utuh. Banyak lubang yang harus ditutup, banyak celah yang harus kembali
direkatkan.
Abdurahim Arsyad (finalis Stand Up Comedy Indonesia 4) membuat
sebuah sajak bernuansa komedi, dia mengibaratkan kondisi Indonesia saat ini
seperti kapal yang terombang ambing tanpa arah degan nahkoda yang
berganti-ganti.[1]
Kini saya menganalogikan kondisi media pers di Indonesia seperti sebuah bus
sekolah yang rusak.
Bus sekolah yang dibuat
dengan tujuan mulia untuk mengantarkan putera putri bangsa menuju sekolah
tempat mendapatkan ilmu pengetahuan. Namun, bus ini kerap kali mogok karena
tidak mendapatkan perawatan berkala dan uang akomodasi dari sekolah yang sangat
minim untuk bensinnya. Sehingga banyak siswa yang tidak terjemput karenanya.
Bus ini juga sudah banyak
penyok akibat supir yang tidak benar-benar ahli. Sang supir tidak mengerti
peraturan lalu lintas bahkan hanya sekadar isyarat lampu merah. Surat izin
mengemudi sang supir pun hasil suap di Polres terdekat. Tak jarang sang supir mangkir
dari tugasnya dan malah membawa bus sekolah ke parkiran lokalisasi di pinggiran
kota. Sang supir seringkali mengeluh kesakitan karena penyakit maag yang
dideritanya, akibat upah supir yang sangat minim sehingga dia hanya makan satu
hari sekali, ini tentu membuat pekerjaannya menjadi tidak maksimal.
Pihak sekolah
seringkali menyalahgunakan bus sekolah untuk kepentingan lain seperti
menyewakannya kepada rombongan wisata. Tidak peduli siswanya dapat berangkat
sekolah atau tidak, karena dengan menyewakan bus kepada rombongan wisata lebih
menguntungkan, pihak sekolah tidak memperdulikannya.
Para siswa yang bosan
dan muak dengan perilaku supir bus dan pihak sekolah, akhirnya memutuskan untuk
berhenti sekolah dan tidak lagi memiliki keinginan untuk belajar.
Jika menggunakan pendekatan
selotip, maka perbaikan dalam kasus ini harus dilakukan di setiap celah
kesalahan. Perlu adanya upaya menyadarkan dan menegaskan pihak sekolah mengenai
prioritas utama mereka adalah memberikan pendidikan kepada siswa. Fasilitas bus
sekolah harus digunakan sesuai dengan fungsi utamanya. Jika memang bisa
digunakan untuk kepentingan lain harusnya tidak mengganggu kepentingan utama.
Kesehatan dan kesejahteraan pekerja termasuk supirnya juga harus diperhatikan
agar dapat menjalankan tugasnya secara maksimal.
Supir bus haruslah
memiliki kompetensi yang sesuai, mengerti tentang aturan yang berlaku di jalan
raya dan menggunakan fasilitas untuk kepentingan para murid bukan untuk
kepentingan pribadinya.
Seperti itulah
kira-kira pandangan saya tentang perbaikan kondisi media pers di Indonesia yang
sekarang semakin semrawut.–did you get
it?
[1] Abdur adalah seorang komedian,
sajak tersebut ia bawakan ketika grand final Stand Up Comedy Indonesia 4
https://www.youtube.com/watch?v=3754EDgx_rc

0 Komentar