EKSISTENSI PAMALI SEBAGAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM MASYARAKAT SUNDA

 

Ilustrasi : Adat Sunda (Sumber : Pixabay)

 “Jangan duduk di atas bantal nanti bisulan!”

“Jangan duduk di depan pintu nanti susah dapat jodoh!”

Pernahkah anda mendengar seseorang berbicara kalimat-kalimat seperti di atas? Jika pernah, maka seharusnya anda tidak asing dengan pamali. Menurut KBBI, pamali atau pemali adalah pantangan atau larangan (berdasarkan adat dan kebiasan). Di Indonesia budaya pamali di lakukan di berbagai daerah, salah satunya di Jawa Barat yang dilakukan oleh masyarakat sunda.

Pamali dalam masyarakat sunda disebut juga panyaraman yang berasal dari kata caram dalam bahasa sunda yang artinya melarang.  Larangan berupa pamali ini biasanya disampaikan oleh orang yang lebih tua kepada orang yang lebih muda.

“Pamali bisa disebut juga tradisi yang diturunkan dari generasi tua pada generasi selanjutnya Siapa yang lebih tua? Yaitu karuhun atau orang tua kita” ujar Danang Drajat seorang mahasiswa S2 Pendidikan Bahasa Sunda Universitas Pendidikan Indonesia.

Masyarakat sunda terutama generasi milenial banyak yang sudah tidak menggunakan pamali, karena dianggap mitos dan sudah tidak relevan untuk dijadikan sebagai aturan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal pamali bukan hanya hanya omong kosong atau mitos atau tahayul yang digunakan untuk menakut-nakuti agar tidak melakukan sesuatu. Pamali memiliki nilai-nilai pendidikan karakter di dalamnya.

Secara fungsional pamali memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter masyarakat sunda. Misalnya jika kita maknai secara sekilas pamali yang berbunyi “Jangan duduk di depan pintu, nanti susah dapat jodoh”, akan terdengar tidak masuk akal karena tidak ada hubungannya antara duduk di depan pintu dengan jodoh seseorang di masa depan. Namun jika ditelaah lebih dalam lagi, pamali ini mengajarkan norma kesopanan karena duduk di depan pintu menghalangi orang lain yang akan keluar masuk melewati pintu tersebut.

“Dalam pamali itu bukan hanya larangan bukan  ‘teu menang dilakukaeun’ bukan hanya itu, tetapi berkaitan juga tentang karakter orang sunda misalkan trisilas silih asah, silih asih, silih asuh. Dan juga disebut gapura pancawaluya. cageur, bageur bener, pinter siger. Berkaitan dengan hal tersebut pamali juga ada nilai pendidikan karakternya” ujar Danang

Menurutnya Danang, pamali ini diciptakan oleh para pendahulu agar hal-hal buruk yang terjadi di masa lalu tidak terulang di masa depan oleh generasi selanjutnya.

Budaya pamali ini masih digunakan sepenuhnya dibeberapa daerah di Jawa Barat terutama di kampung-kampung adat seperti Ciptagelar Sukabumi dan Kampung Naga Tasikmalaya.

 Walau konsep pamali ini sering kali ditolak oleh generasi muda terutama di daerah perkotaan, tetapi secara nilai sebenarnya pamali tetap eksis sampai saat ini disengaja maupun tidak disengaja. Misalnya ada orang tua yang berkata kepada anaknya “Jangan main game terus, nanti bodoh”, secara struktur bahasa dan fungsinya, ini juga bisa dikategorikan sebagai pamali.

Budaya pamali ini seringkali disalah pahami oleh generasi muda sunda sebagai pemahaman kuno yang ketinggalan jaman dan berbau mistik atau takhayul. Banyak dari mereka yang tidak menghiraukan nilai-nilai pendidikan karakter yang ada di dalam pamali. Padahal budaya pamali inilah yang sudah berperan menjadi nilai-nilai yang membentuk identitas masyarakat sunda dari masa ke masa sejak zaman dulu.

Penulis : Yaser Fahrizal Damar Utama

Posting Komentar

0 Komentar